MORFOLOGI INFLEKSI DAN DERIVASI
DALAM BAHASA INDONESIA
- Pendahuluan
Katamba
(1993:205) membagi morfologi menjadi dua domain yaitu infleksi dan derivasi.
Selain itu Matthews dan Bauer (dalam Ermanto, 2008) menyimpulkan bahwa
morfologi terdiri atas dua subbidang, yakni: (1) morfologi infleksi dan (2)
morfologi leksikal (morfologi derivasional). Menurut Katamba (1993:205)
morfologi infleksi adalah pembentukan kata yang berhubungan dengan proses
afiksasi berdasarkan kaidah sintaktis tertentu sedangkan morfologi derivasi
digunakan untuk pembentukan leksikal baru
what is inflection? The standard intuition among linguist is that
inflectional morphology is concerned with syntactically driven word-formation.
Inflectional morphology deals with syntactically determined affixation
processes while derivational morphology is used to create new lexical items.
Dasar
pembedanya adalah derivasi menghasilkan leksem baru dan infleksi menghasilkan
bentuk kata (kata gramatikal) dari leksem.
Menurut
Verhar (1996:118) Fleksi atau infleksional adalah daftar paradigmatis yang
terdiri atas bentuk-bentuk dari kata
yang sama, sedangkan golongan derivasi adalah daftar yang terdiri atas
bentuk-bentuk kata-kata yang tidak sama.
Pengertian istilah kata yang sama dengan kata yang tidak sama dalam
pendapat Verhar (1996:118) adalah pengertian kata sebagai leksem (Ermanto,
2008). Lebih lanjut Subroto (1987 dan 1996) menjelaskan kata dengan tiga pengertian:
1.
Kata
dalam pengertian kata fonologis (phonological
word or orthographical),
2.
Kata
dalam pengertian leksem (lexeme)
3.
Kata
dalam pengertian gramatikal (grammatical
word),
Kata
dengan pengertian dua (2) dan tiga (3)
bersesuaian dengan kajian derivasi dan infleksi. Selain itu Ermanto (2008)
menambahkan dengan begitu dapat dipahami bahwa istilah word-form adalah
kata dalam pengertian kata gramatikal dan lexeme adalah kata dalam
pengertian kata leksikal.
2. 1 Konsep Leksem menurut Harimurti Kridalaksana
Pandangan
Harimurti Kridalaksana mengenai leksem sebagai input dalam proses pembentukan
kata tertuang dalam disertasinya yang telah dibukukan dengan judul Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem
dalam Bahasa Indonesia (1988) dan Pembentukan Kata dalam Bahasa
Indonesia (1989). Dia
berpendapat bahwa kata harus dibedakan dengan leksem dengan mengutip pendapat
dari Lyons (1968).
Dengan
ringkas dapat dinyatakan bahwa leksem menurut Harimurti Kridalaksana adalah:
(1) satuan terkecil dalam leksikon, (2) satuan yang berperan sebagai input
dalam proses morfologis, (3) bahan baku dalam proses morfologis, (4) unsur yang
diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk kompleks
merupakan bentuk dasar yang lepas dari morfem afiks, (5) bentuk yang tidak
tergolong proleksem atau partikel. Penggunaan
konsep leksem dan pembedaannya dengan konsep kata dapat menghilangkan keragu‑rarguan
orang selama ini dalam menentukan kriteria kata.
2. 2 Konsep Leksem menurut Edi Subroto
Pandangan
yang berbeda tentang leksem dinyatakan oleh Edi Subroto dalam makalah tentang Infleksi dan derivasi: kemungkinan
penerapanya dalam morfologi Bahasa Indonesia (1987), Verba Bentuk Me(N)‑D, Me(N)‑D‑i,
dan Me(N)‑D‑kan dalam Bahasa Indonesia, Konsep Leksem dan Upaya
Pengorganisasian Lema dan Sublema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), dan disertasi tentang
Transposisi dari Adjektiva menjadi Verba dan Sebaliknya dalam Bahasa Jawa (1985).
Edi Subroto merumuskan bahwa leksem adalah “satuan
lingual hasil abstraksi dari sebuah paradigma, atau, leksem adalah satuan
abstrak dan satuan terkecil dari sebuah paradigma” (1996:271). Leksem
merupakan satuan fundamental dari leksikon sebuah bahasa. Sebagai satuan
abstrak terkecil leksem dapat diwujudkan dalam bentuk kata gramatikal dalam
sebuah paradigma. Misalnya, WRITER dapat berwujud kata gramatis writer dan writers. Dalam paradigma tersebut, leksem WRITER tetap merupakan
satuan terkecil.
Edi
Subroto menyetujui gagasan dan pendapat Marchand bahwa “pembentukan kata adalah
cabang ilmu bahasa yang mengkaji pola‑pola dimana sebuah bahasa membentuk
satuan‑satuan leksikal baru, yaitu kata.
Dengan demikian yang relevan bagi pembentukan kata adalah morfologi
derivasional atau morfologi leksikal.
3. Konsep infleksi dan derivasi
Simatupang
(1979:52) membagi dua proses morfemis yaitu
- Proses morfemis yang derivasional
Proses morfemis
yang mengakibatkan perubahan keanggotaan kategorial kata yang dikenainya dan
(jenis ini dapat ditentukan dengan tes keanggotaan kategorial kata)
Contoh:
Memutih (KK) diturunkan dari Kata Sifat (KS) putih
- Proses morfemis yang paradigmatik (infleksi)
Proses
morfemis yang tidak mengakibatkan perubahan keanggotaan kategorial kata.
Contoh: Membelikan (KK) diturunkan dari membeli (KK) tidak mengubah kategori
kata.
Jadi, fleksi adalah perubahan morfemis dengan
mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan, dan derivasi
adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis yang
lain (Verhar, 1996:121).
Nida dalam Subroto (1987)
menguraikan tentang infleksi dan derivasi sebagai berikut:
- Pembentukan derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata tertentu) seperti: singer ‘penyanyi’ (nomina), dari verba (to) sing ‘menyanyi’, termasuk jenis kata yang sama dengan boy (nomina) ‘anak laki-laki’; sedangkan pembentukan infleksional tidak, misalnya: verba kolpleks atau polimorfemis walked tidak termasuk beridentitas sama dengan verba monomorfemis yang mana pun juga dalam sistem morfologi bahasa Inggris.
- Secara statistik, afiks derivasional lebih beragam, misalnya dalam bahasa Inggris terdapat afiks-afiks pembentuk nomina: -er, -ment, -ion, -ation, -ness (singer, arrangement, correction, nationalization, stableness), sedangkan afiks infleksional dalam bahasa Inggris kurang beragam (-s (dengan segala variasinya), -ed1, -ed2, -ing: work, worked1, worked2, working).
- Afiks-afiks derivasional dapat mengubah kelas kata, sedangkan afiks infleksional tidak
- Afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang lebih terbatas (misalnya: afiks derivasional -er diramalkan tidak selalu terdapat pada dasar verba untuk membentuk nomina), sedangkan afiks infleksional mempunyai distribusi yang lebih luas.
- Pembentukan derivasional dapat menjadi dasar bagi pembentukan berikutnya: sing (V) → singer (N) ) → singers (N), sedangkan pembentukan infleksional tidak.
Prinsip yang diikuti ialah setiap berpindah jenis kata
(pembentukan yang menghasilkan jenis kata berbeda) selalu berarti pula
berpindah identitas leksikalnya (menulis termasuk verba, penulis termasuk
nomina), tetapi tidak sebaliknya setiap berpindah identitas leksikal berarti
pula berpindah identitas jenis kata. Misalnya, berangkat (verba) dan memberangkatkan
(verba). Keduanya termasuk verba, tetapi identitas leksikalnya berbeda sehingga
termasuk derivasional. Kata berangkat termasuk tak-transitif, sedangkan memberangkatkan
termasuk transitif. Identitas leksikal kedua verba itu berbeda karena referen
atau situasi yang ditunjuknya berbeda. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sufiks –kan pada
memberangkatkan adalah afiks yang mentransitifkan. Perihal afiks me
(N)- pada memberangkatkan, yang dapat diramalkan dapat digantikan di-,
ku-, kau- semata-mata penanda gramatikal, yaitu menyatakan bahwa
kalimatnya berfokus pada pelaku (Subroto, 1987).
4. Afiks: Infleksi dan derivasi
Dalam
morfologi derivasi dan morfologi infleksi, afiks-afiks digolongkan atas dua
jenis yakni: (1) afiks derivasi dan (2) afiks infleksi.
Dengan
tata kerja seperti itu kajian morfologi di dalam suatu bahasa, termasuk bahasa
Indonesia, akan melibatkan kajian tentang afiks sebagai alat pembentuk kata
(polimorfemis) atau lexical formatives (istilah Mathews). Dengan demikian,
akan didapati dua jenis afiks, yaitu afiks‑afiks infleksional dan afiks‑afiks
derivasional. Afiks infleksional adalah afiks yang mampu menghasilkan bentuk‑bentuk
kata yang baru dari leksem dasarnya, sedangkan afiks derivasional adalah afiks
yang menghasilkan leksem baru dari leksem dasar (Purnanto, 2009).
Katamba (1993:47)
secara lebih spesifik membagi dua kategori fungsi afiks yakni fungsi
afiks morfemis infleksi dan fungsi afiks morfemis derivasi.
affixs morphemes can be divided into two major functional
categories, namely derivational morphemes and inflectional morphemes. This
reflects a recognition of two principal word building processes: inflection and
derivation. While all morphologists accept this distinction in some form, it is
nevertheless one of the most contentious issues in morphological theory.
Bauer (dalam Ermanto, 2008 dan Purnanto, 2010) mengemukakan dua tipe afiks
seperti berikut ini.
Affixes
can be of two kinds inflectional or derivational. An inflectional affix is
one
which produces a new word-form of a lexeme from a base. An derivational affix
is one which produces a new lexeme from a base. Take a word-form like re-creates. This can be analyzed into
a prefix re-, a root create, and a suffix -s. The prefix makes a new lexeme
RECREATE from the base create. But
the suffix -s just provides
another word-form of the lexeme RECREATE. The prefix re- is derivational, but the suffix -s is inflectional.
(Afiks dapat dibagi menjadi dua jenis
afiks, yaitu afiks‑afiks infleksional dan afiks‑afiks derivasional. Afiks
infleksional adalah afiks yang mampu menghasilkan bentuk‑bentuk kata yang
baru dari leksem dasarnya, sedangkan afiks derivasional adalah afiks
yang menghasilkan leksem baru dari leksem dasar. Misalnya kata recreates dapat dianalisis
menjadi sebuah prefiks re‑ sebuah akar create, dan sebuah sufiks ‑s. Prefiks re‑ membentuk leksem baru RECREATE
dari bentuk dasar create,
sedangkan sufiks –s membentuk
kata yang lain dari leksem RECREATE. Jadi prefiks re‑ bersifat derivasional, sedangkan sufiks ‑s bersifat infleksional)
Berdasarkan
pendapat Katamba dan Bauer dinyatakan
bahwa afiks dibedakan atas afiks derivasi dan infleksi.
5. Fungsi Afiks: infleksi dan derivasi
Afiks
derivasi digunakan pada proses afiksasi yang bersifat derivasi; afiks infleksi
digunakan pada proses afiksasi yang bersifat infleksi. Proses afiksasi yang
bersifat derivasi itu akan menghasilkan leksem (kata dalam pengertian kata
leksikal) dari leksem yang menjadi D; proses afiksasi yang bersifat infleksi
akan menghasilkan bentuk-kata (word-form) (kata dalam pengertian kata
gramatikal) dari suatu leksem (D).
Bertolak
dari fungsi fleksi dan fungsi derivasi pada afiks, afiks dapat dibedakan atas
dua kelompok berdasarkan fungsinya, yakni (1) afiks derivasi dan (2) afiks
infleksi.
Bauer
(dalam Ermanto) menjelaskan bahwa afiks derivasi adalah afiks yang
memproduksi leksem baru (kata dalam pengertian leksem) dari suatu D; dan afiks
infleksi adalah afiks yang berfungsi memproduksi bentuk-kata (kata
gramatikal) dari suatu leksem. Sejumlah cara membedakan afiks derivasi dengan
afiks infleksi menurut Bauer
(dalam Ermanto,
2008) adalah sebagai berikut:
(1) jika
suatu afiks mengubah kelas kata, berarti afiks derivasi, dan jika tidak
mengubah kelas kata, biasanya, afiks infleksi (tetapi dapat pula afiks
derivasi);
(2) afiks
derivasi mempunyai makna yang tidak tetap (tidak teratur), sedangkan
afiks
infleksi selalu mempunyai makna yang tetap (teratur);
(3) suatu
kaidah umum adalah afiks derivasi kurang produktif sedangkan afiks infleksi
sangat produktif.
Istilah
proses derivasi dan proses infleksi ini didasarkan pada istilah
yang digunakan Matthews (dalam Ermanto, 2007).
Pada verba afiksasi yang memiliki beberapa afiks, afiks-afiks tersebut
mengimbuh secara hierarkis. Jika pada verba afiksasi terdapat afiks derivasi
dan afiks infleksi, maka pengimbuhan itu terjadi menurut kaidah tertentu
(kaidah umum). Kaidah umum tersebut adalah proses derivasional akan
terjadi lebih dahulu dan kemudian diikuti oleh proses infleksi.
Menurut
Subroto (1987), setiap proses morfologis, sebuah afiks akan termasuk
infleksional kalau di dalam suatu paradigma dapat diramalkan untuk menggantikan
afiks infleksional lainnya. Dengan demikian, juga terdapat keteraturan makna
gramatikal di dalam paradigma infleksional. Ciri‑ciri yang demikian tidak
terdapat pada paradigma yang derivasional (1985: 6). Contohnya, paradigma dari
dasar”PETIK” PARADIGMA I
‑PETIKIß---------‑ -PETIK-----------à-PETIKKAN
Memetiki memetik memetikkan 1
Dipetiki dipetik dipetikkan 2
Kupetiki kupetik kupetikkan 3
Kaupetiki kaupetik kaupetikkan 4
Diapetiki diapetik diapetikkan
5
Terpetik -
PARADIGMA II
______________________________________________________
Pemetik pemetikan petikan
______________________________________________________
Paradigma
I termasuk paradigma kata kerja yang dibentuk dari dasar “petik”, sedangkan
paradigma II adalah paradigma nomina deverbal.
Paradigma
kata kerja terbagi atas tiga kolom: kolom PETIK, kolom PETIKI, dan kolom
PETIKAN. Masing‑masing kolom merupakan paradigma infleksional dan masing‑masing
mempunyai bentuk kata baris 1 ‑ 6 (kecuali kolom ‑PETIKKAN 6 dan kolom ‑PETIKI,
6 yang masih tanda tanya). Untuk memudahkan pembicaraan paradigma kata kerja
kolom ‑PETIK disebut A, kolom ‑PETIKI disebut B, dan kolom ‑PETIKKAN disebut C.
Terlihat
pada masing‑masing kolom bahwa bentuk dengan Me(N)‑ (sebagai bentuk pertama,
baris pertama) dapat digantikan dengan di‑, ku‑, kau‑, dia‑. Oleh karena itu,
masing‑masing kolom merupakan paradigma infleksional. Kolom A dari leksem ‑PETIK,
kolom B dari leksem ‑PETIKI, kolom C dari leksem ‑PETIKKAN. Kemunculan masing‑masing
bentuk dari setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan kaidah gramatis
tertentu. Bentuk baris 1 terdapat apabila kalimat berfokus agentif, sedangkan
baris 2‑6 berfokus pasientif. Perbedaan antara baris 2‑6 menyatkan ‘keaksidentalan’
(hal tidak disengaja); baris 2‑5 menyatakan ‘kesengajaan’. Baris 6 berbeda
dengan baris 3‑5 karena menyatakan pelaku ‘nampak dalam bentuk’, sedangkan
baris 2 menyatakan pelaku ‘tidak nampak dalam bentuk’; baris 3 pelaku adalah
O1, baris 4 adalah O2, baris 5 adalah O3.
Selanjutnya
perlu dibedakan leksem ‑PETIK, ‑PETIKI, dan ‑PETIKKAN. Leksem ‑PETIKI bermakna
‘pluralitas perbuatan’, ‑PETIKKAN (dalam oposisinya dengan ‑PETIK) mengandung
ciri ‘kebenefaktifan’. Dengan begitu, kata memetik,
memetiki, dan memetikkan secara
leksikal adalah tiga kata yang berbeda (derivasional) sekalipun termasuk dalam
kata kerja.
Kata pemetik, pemetikan, dan petikan (II)
dikategorikan sebagai kata benda derivasional deverbal. Maksudnya, berdasarkan
pertimbangan semantik leksikal, ketiga kata itu diderivasikan dari kata kerja mememetik (pemetik‘orang
yang memetik’, pemetikan‘hal
memetik’, petikan ‘hasil
memetik’).Berdasarkan perbedaan referennya, ketiga kata itu berbeda
secara leksikal sekalipun sama‑sama termasuk kata benda.
6. Proses morfologi Infleksi dan
derivasi dalam Bahasa Indonesia
Berdasarkan landasan teori
diatas tentang proses infleksi dan derivasi dibawah ini akan diperikan proses
morfologi infleksi dan derivasi dalam bahasa Indonesia yang mengacu pada contoh
pemerian yang telah dilakukan oleh Edi Subroto dengan pertimbangan bahwa konsep
infleksi dan derivasi Edi Subroto lebih aplikatif dan memadai untuk diterapkan
ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu apa yang dirintis Edi Subroto sejalan
dengan kajian morfologi mutakhir sebagaimana Katamba (1993) Stump (2001) Inflection, dan Beard (2001) Derivation dalam Handbook of Morphology bahwa kajian morfologi infleksi dan derivasi
berdasarkan kaidah sintaktik yang dapat diramalkan kemunculannya serta
mempunyai keteraturan gramatikal.
Dengan tidak mengabaikan penelitian infleksi dan derivasi yang telah
dilakukan para pakar linguistik lainnya seperti yang dilakukan oleh (1) Ermanto
dengan judul Hierarki Afiksasi Pada
Verba Bahasa Indonesia (Bi) Dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi
(2007), (2) Fungsi dan
Makna Afiks Infleksi Pada Verba Afiksasi Bahasa
Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Morfologi Derivasi Dan Infleksi (2008).
Hasil
penelitian Ermanto (2008) menemukan lima pola hierarki afiksasi pada verba
afiksasi BI sebagai berikut
Pertama, pola (I) adalah D + PROSES INFLEKSI.
Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (V Transitif) hanya
memiliki satu afiks infleksi meN- atau afiks infleksi di-.
Kedua, pola (II) adalah (D + PROSES DERIVASI)
+ PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (V
Transitif) selain memiliki afiks infleksi meN- atau afiks infleksi di-
juga memiliki afiks derivasi lain, seperti –kan, -i, per-/-kan, per-/-i,
per-.
Ketiga, pola (III) adalah ((D + PROSES
DERIVASI) + PROSES DERIVASI) + PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini
terjadi jika verba AKSI PROSES (V Transitif) selain memiliki afiks infleksi meN-
atau afiks infleksi di- juga memiliki afiks derivasi lain seperti
afiks ber-, dan –kan.
Keempat, pola (IV) adalah D + PROSES DERIVASI.
Hierarki afiksasi ini terdapat pada V KEADAAN, V PROSES, V AKSI (V INTRANSITIF)
yang diturunkan dari DN, DA, DV KEADAAN, DV PROSES, DV AKSI dengan pengimbuhan
afiks derivasi meN-, beR-, teR-, ke-/-an, beR-/-an, beR-/-kan.
Kelima, pola (V) adalah D + PROSES INFLEKSI
(afiks infleksi ber-). Pola hierarki afiksasi ini terdapat pada V
AKSI atau V KEADAAN yang berfitur semantis aksi mental dengan pengimbuhan afiks
infleksi beR-.
Dengan
contoh analisis yang dilakukan Ermanto sebagai berikut:
Hierarki afiksasi pada V AKSI PROSES (V Transitif)
dengan POLA (I): D + PROSES INFLEKSI (1) dapat dijelaskan berikut ini.
POLA (I): D + PROSES INFLEKSI.
|
|
||||||
![]() |
|||||||
GUNCANG mengguncang,
diguncang
PARKIR
memarkir, diparkir
PROTES
memprotes, diprotes
USUNG mengusung,
diusung
TUNGGU
menunggu, ditunggu
BUAT membuat, dibuat
Hierarki afiksasi pada verba di atas adalah
pengimbuhan afiks infleksi meN- dan di- pada leksem V dengan
proses infleksi. Pengimbuhan afiks infleksi (Proses Infleksi 1) membentuk kata
gramatikal berkategori AKTIF dan PASIF dari leksem V. Kata gramatikal berafiks meN-
adalah V AKTIF, dan kata gramatikal berafiks di- adalah V PASIF.
Pada DV AKSI PROSES yang berbentuk simpel (monomorfem) secara otomatis akan
mengalami proses infleksi dengan afiks infleksi meN- dan di-.
Dibawah ini akan diperikan contoh proses infleksi
dan derivasi dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
6.1 Proses infleksi dan
derivasi verba transitif
Paradigma dari leksem Verba Transitif “PILIH”
B
|
A
|
C
|
||
I
|
–PILIHI
|
–PILIH
|
-PILIHKAN
|
1
2
3
4
5
6
|
memilihi
dipilihi
kupilihi
kaupilihi
diapilihi
terpilihi
|
memilih
diapilih
kupilih
kaupilih
diapilih
terpilih
|
memilihkan
diapilihkan
kupilihkan
kaupilihkan
diapilihkan
-
|
||
II
|
pemilih
pemilihan
pilihan
|
7
8
9
|
Paradigma (morfologis) I termasuk paradigma verba yang
dibentuk dari dasar PILIH,
sedangkan paradigma II adalah paradigma nomina deverbal.
Paradigma verba terbagi atas tiga kolom, yaitu: kolom
PILIH, kolom PILIHI, dan kolom PILIHKAN. Masing-masing kolom merupakan
paradigma infleksional dan masing masing mempunyai bentuk kata baris 1-6
(kecuali kolom PILIHKAN 6). Untuk memudahkan pembicaraan paradigma verba kolom
PILIH disebut A, kolom PILIHI disebut B, dan kolom PILIHKAN disebut C.
Pada masing-masing kolom (A, B, dan C) dapat dikatakan
bahwa bentuk dengan me(N)- (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat
digantikan dengan di, ku, kau, dia. Oleh karena itu, masing-masing kolom
merupakan paradigma infleksional. Kolom A dari leksem PILIH, kolom B dari
leksem PILIHI, kolom C dari leksem PILIHKAN. Pembentukan kata dari
masing-masing bentuk pada setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan kaidah
gramatis tertentu. Bentuk baris 1 terdapat apabila kalimat berfokus agentif
yang ditandai oleh prefiks me(N)-, sedangkan baris 2-6 berfokus pasientif.
Perbedaan antara baris 2-6 menyatakan ‘keaksidentalan’ (ketidaksengajaan);
baris 2-5 menyatakan ‘kesengajaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3-5 karena
menyatakan agen (pelaku) tampak dalam bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan
agen (pelaku) ‘tidak tampak dalam bentuk’; baris 3 agen adalah pronomina orang
pertama (O1), baris 4 adalah pronima orang kedua (O2), dan baris 5 adalah
pronomina orang ketiga (O3).
Selanjutnya perlu dibedakan antara leksem PILIH,
PILIHII, dan PILIHKAN. Leksem PILIHI bermakna ‘direktif’, PILIHKAN (dalam
oposisinya dengan PILIH) mengandung ciri ‘kebenefaktifan’. Leksem –PILIH
termasuk leksem tunggal, sedangkan leksem –PILIHI dan – PILIHKAN termasuk
leksem kompleks. Dengan demikian, kata memilih, memilihi, dan memilihkan
secara leksikal adalah tiga kata yang berbeda identitas leksikalnya
(pembentukan kata secara derivasional) walaupun termasuk dalam verba karena
memiliki ciri semantik yang berbeda.
Kata pemilih, pemilihan, dan pilihan pada
paradigma (II) dapat dikategorikan sebagai nomina deverbal yang mengalami
pembentukan kata secara derivasional. Maksudnya, berdasarkan pertimbangan
semantik leksikal, ketiga kata itu diderivasikan dari verba memilih (pemilih’orang
yang memilih’, pemilihan ‘ihwal memilih atau proses memilih’, pilihan
‘hasil memilih’). Berdasarkan perbedaan referennya, ketiga kata itu
berbeda secara leksikal sekalipun sama-sama termasuk nomina, karena memiliki
ciri semantik yang berbeda.
Bila ditinjau dari kelas katanya verba pilih termasuk verba transitif yang mengandung
makna perbuatan dan proses (verba aksi-proses), misalnya (Kakak) memilih (calon istri). (Kakak) berfungsi sebagai
Subjek (S) dan berperan sebagai Agen (Ag), sedangkan (calon istri) berfungsi
sebagai Objek (O) dan berperan Pasientif (Ps).
Prosede dengan me(N)- termasuk produktif karena
sebagian pembentukan kata dengan dasar verba transitif (D-Vtr) yang lain (satu
kelas) dapat dibentuk dengan me(N)-D yang transitif.Untuk itu, V tr pilih
dapat dibentuk lebih lanjut dengan sufiks –i menjadi memilihi dan
sufiks –kan menjadi memilihkan.
Apabila ditinjau adanya proporsionalitas ketiga verba
tersebut, terdapat proporsionalitas yang kontinyu, yaitu antara verba bentuk me(N)-D
dengan bentuk me(N)-D-i dan verba bentuk me(N)-D-kan. Oleh
karena itu, terdapat oposisi secara langsung antara Verba bentuk me(N)-D X
me(N)-D-i dan antara Verba bentuk me(N)-D X me(N)-D-kan, yaitu
antara memilih X memilihi dan memilih X memilihkan. Akan tetapi,
pembentukannya tidak serta merta dibentuk dengan konfiks me(N)-i dan me(N)-kan,
tetapi melalui tahapan prefiks me(N)- dahulu baru kemudian dilekati
sufiks –i atau - kan (karena terjadi secara bertahap maka
tidak disebut sebagai konfiks).
Untuk lebih jelasnya dapat dicontohkan kalimat (Kakak) memilihi (koran) dan
(kakak) memilihkan (koran) (untuk)( adiknya)
atau (kakak) memilihkan (adiknya) ( koran). Kata memilihi
termasuk verba aksi-proses yang mengandung makna ‘frekuentatif
(berkali-kali) atau intensitas frekuentatif’ yang ditandai oleh sufiks –i. Oleh
karena itu, (kakak) berfungsi
sebagai S dan berperan sebagai Ag, dan (koran)
berfungsi sebagai O dan berperan Ps. Kalimat tersebut juga bisa
dipasifkan dengan (koran) dpilihi (kakak). Verba bentuk memilihkan
termasuk verba aksi–proses yang mengandung makna benefaktif, sehingga kata (adiknya) pada (kakak) memilihkan (adiknya)
(koran) berfungsi sebagai O dan berperan sebagai penerima
(benefaktif).
Verba bentuk me(N)-D-I tidak bisa dioposisikan
secara langsung dengan verba bentuk me(N)-D-kan. Oposisinya hanya bisa
dijelaskan melalui verba ventuk me(N)-D. Sehingga dapat ditemukan
oposisi me(N)-D-i X me(N)-D X me(N)-D-kan, yaitu memilihi
X memilih X memilihkan.
Paradigma dari leksem Verba Transitif “AMBIL”
B
|
A
|
C
|
||
I
|
–AMBILI
|
–AMBIL
|
AMBILKAN
|
1
2
3
4
5
6
|
mengambili
diambili
kuambili
kauambil
diambili
terambili (?)
|
mengambil
diambil
kuambil
kauambil
diaambil
terambil
|
mengambilkan
diambilkan
kuambilkan
kauambilkan
diaambilkan
-
|
||
II
|
pengambil
pengambilan
ambilan
|
7
8
9
|
Paradigma (morfologis) I termasuk paradigma verba yang
dibentuk dari dasar AMBIL,
sedangkan paradigma II adalah paradigma nomina deverbal.
Paradigma verba terbagi atas tiga kolom, yaitu: kolom
AMBIL, kolom AMBILI, dan kolom AMBILKAN. Masing-masing kolom merupakan
paradigma infleksional dan masing masing mempunyai bentuk kata baris 1-6
(kecuali kolom AMBILKAN 6 dan kolom –AMBILI (6 yang dipertanyakan). Untuk
memudahkan pembicaraan paradigma verba kolom AMBIL disebut A, kolom AMBILI
disebut B, dan kolom AMBILKAN disebut C.
Pada masing-masing kolom (A, B, dan C) dapat dikatakan
bahwa bentuk dengan me(N)- (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat
digantikan dengan di, ku, kau, dia. Oleh karena itu, masing-masing kolom
merupakan paradigma infleksional. Kolom A dari leksem AMBIL, kolom B dari
leksem AMBILI, kolom C dari leksem AMBILKAN. Pembentukan kata dari
masing-masing bentuk pada setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan kaidah
gramatis tertentu. Bentuk baris 1 terdapat apabila kalimat berfokus agentif
yang ditandai oleh prefiks me(N)-, sedangkan baris 2-6 berfokus
pasientif. Perbedaan antara baris 2-6 menyatakan ‘keaksidentalan’
(ketidaksengajaan); baris 2-5 menyatakan ‘kesengajaan’. Baris 6 berbeda dengan
baris 3-5 karena menyatakan agen (pelaku) tampak dalam bentuk’, sedangkan baris
2 menyatakan agen (pelaku) ‘tidak tampak dalam bentuk’; baris 3 agen adalah
pronomina orang pertama (O1), baris 4 adalah pronima orang kedua (O2), dan
baris 5 adalah pronomina orang ketiga (O3).
Selanjutnya perlu dibedakan antara leksem AMBIL,
AMBILI, dan AMBILKAN. Leksem AMBILI bermakna ‘pluralitas perbuatan’, AMBILKAN
(dalam oposisinya dengan AMBIL) mengandung ciri ‘kebenefaktifan’. Leksem –AMBIL
termasuk leksem tunggal, sedangkan leksem –AMBILI dan – AMBILKAN termasuk
leksem kompleks. Dengan demikian, kata mengambil, mengambili, dan
mengambilkan secara leksikal adalah tiga kata yang berbeda identitas
leksikalnya (pembentukan kata secara derivasional) walaupun termasuk dalam
verba karena memiliki ciri semantik yang berbeda.
Kata pengambil, pengambilan, dan ambilan pada
paradigma (II) dapat dikategorikan sebagai nomina deverbal yang mengalami
pembentukan kata secara derivasional. Maksudnya, berdasarkan pertimbangan
semantik leksikal, ketiga kata itu diderivasikan dari verba mengambil (pengambil’orang
yang mengambil’, pengambilan ‘hal mengambil’, ambilan ‘hasil
mengambil’). Berdasarkan perbedaan referennya, ketiga kata itu berbeda
secara leksikal sekalipun sama-sama termasuk nomina, karena memiliki ciri
semantik yang berbeda.
Bila ditinjau dari kelas katanya verba ambil termasuk
verba transitif yang mengandung makna perbuatan dan proses (verba
aksi-proses), misalnya (Kakak)
mengambil (kamus). (Kakak)
berfungsi sebagai Subjek (S) dan berperan sebagai Agen (Ag),
sedangkan (kamus) berfungsi sebagai Objek (O) dan berperan Pasientif (Ps).
Prosede dengan me(N)- termasuk produktif karena
sebagian pembentukan kata dengan dasar verba transitif (D-Vtr) yang lain (satu
kelas) dapat dibentuk dengan me(N)-D yang transitif.Untuk itu, V tr ambil
dapat dibentuk lebih lanjut dengan sufiks –i menjadi mengambili dan
sufiks –kan menjadi mengambilkan.
Apabila ditinjau adanya proporsionalitas ketiga verba
tersebut, terdapat proporsionalitas yang kontinyu, yaitu antara verba bentuk me(N)-D
dengan bentuk me(N)-D-i dan verba bentuk me(N)-D-kan. Oleh
karena itu, terdapat oposisi secara langsung antara Verba bentuk me(N)-D X
me(N)-D-i dan antara Verba bentuk me(N)-D X me(N)-D-kan, yaitu
antara mengambil X mengambili dan mengambil X mengambilkan. Akan
tetapi, pembentukannya tidak serta merta dibentuk dengan konfiks me(N)-i dan
me(N)-kan, tetapi melalui tahapan prefiks me(N)- dahulu baru
kemudian dilekati sufiks –i atau - kan (karena terjadi
secara bertahap maka tidak disebut sebagai konfiks).
Untuk lebih jelasnya dapat dicontohkan kalimat (Kakak) mengambili (koin emas) dan
(kakak) mengambilkan (koin emas) (untuk)( Ibunya)
atau (kakak) mengambilkan (ibunya)(
koin emas). Kata mengambili termasuk verba aksi-proses
yang mengandung makna ‘frekuentatif (berkali-kali)’ yang ditandai oleh sufiks –i.
Oleh karena itu, (kakak) berfungsi
sebagai S dan berperan sebagai Ag, dan (koin
emas) berfungsi sebagai O dan berperan Ps. Kalimat tersebut juga
bisa dipasifkan dengan (koin emas) diambili (kakak). Verba bentuk mengambilkan
termasuk verba aksi–proses yang mengandung makna benefaktif, sehingga kata (ibunya) pada (kakak) mengambilkan (ibunya) (koin emas) berfungsi sebagai O dan berperan
sebagai penerima (benefaktif).
Verba bentuk me(N)-D-I tidak bisa dioposisikan
secara langsung dengan verba bentuk me(N)-D-kan. Oposisinya hanya bisa dijelaskan
melalui verba ventuk me(N)-D. Sehingga dapat ditemukan oposisi me(N)-D-i
X me(N)-D X me(N)-D-kan, yaitu mengambili X mengambil X
mengambilkan.
6.2 Proses infleksi dan derivasi verba
intransitif
Paradigma
dari
leksem DUDUK berikut ini.
A
|
B
|
C
|
||
I
|
DUDUKI
|
DUDUK
|
DUDUKKAN
|
1
2
3
4
5
6
|
menduduki
diduduki
kududuki
kaududuki
diaduduki
terduduki?
|
-
-
-
-
-
terduduk
|
mendudukkan
didudukkan
kududukkan
kaududukkan
diadudukkan
terdudukkan?
|
||
II
|
pendudukan
penduduk
|
7
8
|
Paradigma pembentukan kata pada I termasuk verba yang
dibentuk dari leksem –DUDUK, sedangkan paradigma II merupakan pembentukan kata
secara derivasional dari dasar verba yang menghasilkan bentuk nomina deverba.
Paradigma verba terbagi atas tiga kolom, yaitu: kolom
DUDUK, kolom DUDUKI, dan kolom DUDUKAN. Kolom B tidak ada pembentukan kata
dengan leksem DUDUK karena termasuk verba intransitif. Sedangkan kolom A dan
kolom C merupakan paradigma infleksional dan masing masing mempunyai bentuk
kata baris 1-6 (kecuali kolom DUDUKKAN 6 dan kolom –DUDUKI ( 6 yang masih
dipertanyakan). Untuk memudahkan pembicaraan paradigma verba kolom DUDUK
disebut A, kolom DUDUKI disebut B, dan kolom DUDUKKAN disebut C.
Pada kolom A dan C dapat dikatakan bahwa bentuk dengan
me(N) (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat digantikan dengan di
, ku , kau , dia . Oleh karena itu, kedua kolom tersebut merupakan
paradigma infleksional. Kolom A dari leksem DUDUK, dan kolom C dari leksem
DUDUKKAN. Pembentukan kata dari masing-masing bentuk pada setiap kolom dapat
diramalkan berdasarkan kaidah gramatis tertentu. Bentuk baris 1 terdapat
apabila kalimat berfokus agentif yang ditandai oleh prefiks me(N)- ,
sedangkan baris 2-6 berfokus pasientif. Perbedaan antara baris 2-6
menyatakan ‘keaksidentalan’ (hal tidak disengaja); baris 2-5 menyatakan
‘kesengajaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3-5 karena menyatakan agen (pelaku)
‘tampak dalam bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan agen (pelaku) ‘tidak tampak
dalam bentuk’; baris 3 agen adalah pronomina orang pertama (O1), baris 4 adalah
pronima orang kedua (O2), dan baris 5 adalah pronomina orang ketiga (O3).
Tahap selanjutnya perlu dibedakan antara leksem DUDUK,
DUDUKI, dan DUDUKKAN. Leksem DUDUKI bermakna ‘pluralitas perbuatan’, DUDUKKAN
(dalam oposisinya dengan DUDUK) mengandung ciri ‘kebenefaktifan’. Leksem –DUDUK
termasuk leksem tunggal, sedangkan leksem –DUDUKI dan –DUDUKKAN termasuk leksem
kompleks. Dengan demikian, kata menduduki dan mendudukkan secara
leksikal adalah kata yang berbeda identitas leksikalnya (pembentukan kata secara
derivasional) walaupun termasuk dalam kelas verba karena memiliki ciri semantis
yang berbeda.
Kata penduduk dan pendudukan pada
paradigma (II) dapat dikategorikan sebagai pembentukan secara derivasional yang
beridentitas nomina deverbal. Maksudnya, berdasarkan pertimbangan semantik
leksikal, kedua kata itu diderivasikan dari verba menduduki (penduduk
‘orang yang meduduki satu wilayah tertentu)’, pendudukan ‘hal menduduki
atau menjajah wilayah tertentu’. Berdasarkan perbedaan referennya,
ketiga kata itu berbeda secara leksikal sekalipun sama-sama termasuk nomina.
Kalau dikaitkan dengan terdapat tidaknya
proporsionalitas yang kontinu (saling keterkaitan antara kata-kata yang
termasuk kategori yang berbeda, tetapi dari dasar yang sama) di dalam
pembentukan kata itu tidak menunjukkan keterkaitan antara ketiganya. Hal itu
dapat diperikan seperti berikut.
Verba duduk termasuk verba intransitif. Secara
leksikal akan dikelompokkan ke dalam kata tunggal yang menghendaki adanya
komplemen, misalnya duduk di teras. Oleh sebab itu, verba duduk tidak
dapat dibentuk dengan prosede me(N)-D menjadi –*menduduk termasuk
infleksinya *diduduk, *kududuk, *kaududuk, *diaduduk (terduduk
untuk bentukan kata jatuh terduduk ‘jatuh dalam posisi duduk’).
Dari dasar intransitif verba duduk (yang secara
leksikal dapat diikuti preposisi di-) jika ingin dibentuk menjadi verba
transitif harus ditambah dengan sufiks –kan atau sufiks –i,
sehingga diperoleh kata menduduki (bermakna ‘lokatif’ misalnya (AS) menduduki (Afghanistan selama
tiga setengah tahun) dan mendudukkan (bermakna kausatif, misalnya
(Adik) mendudukan (nenek) (di kursi roda). Selain itu,
apabila ditinjau dari klasifikasi verba menurut Chafe (1971), verba menduduki
dan mendudukkan termasuk verba aksi – proses.
Verba menduduki dan mendudukkan dibentuk
secara langsung dari verba duduk, tanpa melalui proses dari bentuk me(N)-D.
Untuk itu, bisa dinyatakan bahwa tidak ada proporsionalitas yang kontinyu
antara verba bentuk me-(N)-D dan verba bentuk me(N)- D-I dan me(N)-D-kan.
Sebagai konsekuensinya, bentuk me-i dan me-kan dapat
dikelompokkan atau diistilahkan konfiks.
7. Simpulan
Dari
pemerian morfologi Infleksi dan derivasi dalam bahasa Indonesia dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
- Titik tolak kajian infleksi dan derivasi adalah kata sebagai pengertian leksem karena kata mengandung kekaburan konsep. Leksem sebagai bahan mentah proses input yang menghasilkan kata gramatikal (output).
- Derivasi menghasilkan leksem baru dan infleksi menghasilkan bentuk kata (kata gramatikal) dari leksem.
- Afiks derivasi adalah afiks yang memproduksi leksem baru (kata dalam pengertian leksem) dari suatu D; dan afiks infleksi adalah afiks yang berfungsi memproduksi bentuk-kata (kata gramatikal) dari suatu leksem.
- Proses derivasional akan terjadi lebih dahulu dan kemudian diikuti oleh proses infleksi.
- Pembentukan derivasional dapat dijadikan dasar bagi pembentukan berikutnya, sedangkan pembentukan infleksional tidak bisa.
- Pembentukan infleksional dapat memenuhi kaidah gramatikal yang bersifat dapat diramalkan dalam kaidah sintaktik tertentu, sedangkan pembentukan derivasional bersifat tak teramalkan sekalipun diakui adanya beberapa gejala yang sistematis.
- Terdapat keteraturan makna gramatikal di dalam paradigma infleksional, sedangkan paradigma derivasional tidak terdapat keteraturan makna gramatikal
Sumber Rujukan
Azhar, Iqbal Nurul.2009. Kajian Morfologi Infleksi Dan Derivasi Dalam Perspektif Edi Subroto. Makalah tidak diterbitkan.
Beard, Robert. 2001. “Derivation” dalam Andrew Spencer and
Anold M. Zwicky (eds) The Handbook of Morfology. Malden: Blackwell Publishers
Ermanto, 2007. Hierarki Afiksasi Pada Verba Bahasa Indonesia (Bi) Dari Perspektif
Morfologi Derivasi dan Infleksi dalam
Linguistika Maret 2007
Ermanto, 2008. Fungsi dan Makna Afiks Infleksi Pada
Verba Afiksasi Bahasa Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Morfologi Derivasi Dan Infleksi dalam jurnal
Bahasa dan Seni FBSS UNP.
Katamba, Francis.1993.Morphology.England:The Macmillan Press
LTD.
Purnanto, Dwi. 2009. Peranan Leksem dan Kata Dalam
Studi Morfologi dalam http://dwipur_sastra.staff.uns.ac.id/2009/06/03/ diakses pada 21 oktober 2010.
Stump, Gregory. 2001. “Inflection” dalam Andrew Spencer and
Anold M. Zwicky (Eds) The Handbook of Morfology. Malden: Blackwell
Publishers
Subroto, Edi. 1996. “Konsep
Leksem dan Upaya Pengorganisasian Kembali Lema dan Sublema Kamus Besar Bahasa
Indonesia’ dalam (Ed)
Dardjowidjojo Bahasa Nasional Kita. Bandung: ITB.
Subroto, Edi. 1987.Infleksi dan
Derivasi: kemungkinan penerapanya dalam morfologi Bahasa Indonesia dalam
jurnal MLI Desember 1987 tahun 5 No. 10.
Simatupang, M.D.S.1979.Reduplikasi
Morfemis Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan
Verhaar, J.W.M.
1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar