Selasa, 27 Maret 2012


                                             MORFOLOGI INFLEKSI DAN DERIVASI
DALAM BAHASA INDONESIA

  1. Pendahuluan
Katamba (1993:205) membagi morfologi menjadi dua domain yaitu infleksi dan derivasi. Selain itu Matthews dan Bauer (dalam Ermanto, 2008) menyimpulkan bahwa morfologi terdiri atas dua subbidang, yakni: (1) morfologi infleksi dan (2) morfologi leksikal (morfologi derivasional). Menurut Katamba (1993:205) morfologi infleksi adalah pembentukan kata yang berhubungan dengan proses afiksasi berdasarkan kaidah sintaktis tertentu sedangkan morfologi derivasi digunakan untuk pembentukan leksikal baru
what is inflection? The standard intuition among linguist is that inflectional morphology is concerned with syntactically driven word-formation. Inflectional morphology deals with syntactically determined affixation processes while derivational morphology is used to create new lexical items.

Dasar pembedanya adalah derivasi menghasilkan leksem baru dan infleksi menghasilkan bentuk kata (kata gramatikal) dari leksem.
Menurut Verhar (1996:118) Fleksi atau infleksional adalah daftar paradigmatis yang terdiri atas bentuk-bentuk dari kata yang sama, sedangkan golongan derivasi adalah daftar yang terdiri atas bentuk-bentuk kata-kata yang tidak sama. Pengertian istilah kata yang sama dengan kata yang tidak sama dalam pendapat Verhar (1996:118) adalah pengertian kata sebagai leksem (Ermanto, 2008). Lebih lanjut Subroto (1987 dan 1996) menjelaskan kata dengan tiga  pengertian:
1.      Kata dalam pengertian kata fonologis (phonological word or orthographical),
2.      Kata dalam pengertian leksem (lexeme)
3.      Kata dalam pengertian gramatikal (grammatical word),
Kata dengan pengertian dua (2)  dan tiga (3) bersesuaian dengan kajian derivasi dan infleksi. Selain itu Ermanto (2008) menambahkan dengan begitu dapat dipahami bahwa istilah word-form adalah kata dalam pengertian kata gramatikal dan lexeme adalah kata dalam pengertian kata leksikal.



2. 1 Konsep Leksem menurut Harimurti Kridalaksana
Pandangan Harimurti Kridalaksana mengenai leksem sebagai input dalam proses pembentukan kata tertuang dalam disertasinya yang telah dibukukan dengan judul Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia (1988) dan Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (1989). Dia berpendapat bahwa kata harus dibedakan dengan leksem dengan mengutip pendapat dari Lyons (1968).
Dengan ringkas dapat dinyatakan bahwa leksem menurut Harimurti Kridalaksana adalah: (1) satuan terkecil dalam leksikon, (2) satuan yang berperan sebagai input dalam proses morfologis, (3) bahan baku dalam proses morfologis, (4) unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari morfem afiks, (5) bentuk yang tidak tergolong proleksem atau partikel. Penggunaan konsep leksem dan pembedaannya dengan konsep kata dapat menghilangkan keragu‑rarguan orang selama ini dalam menentukan kriteria kata.
           
2. 2 Konsep Leksem menurut Edi Subroto
Pandangan yang berbeda tentang leksem dinyatakan oleh Edi Subroto dalam makalah tentang Infleksi dan derivasi: kemungkinan penerapanya dalam morfologi Bahasa Indonesia (1987), Verba Bentuk Me(N)‑D, Me(N)‑D‑i, dan Me(N)‑D‑kan dalam Bahasa Indone­sia, Konsep Leksem dan Upaya Pengorganisasian Lema dan Sublema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), dan disertasi tentang Transposisi dari Adjektiva menjadi Verba dan Sebaliknya dalam Bahasa Jawa (1985).
Edi Subroto merumuskan bahwa leksem adalah “satuan lingual hasil abstraksi dari sebuah paradigma, atau, leksem adalah satuan abstrak dan satuan terke­cil dari sebuah paradigma” (1996:271). Leksem merupakan satuan fundamental dari leksikon sebuah bahasa. Sebagai satuan abstrak terkecil leksem dapat diwujudkan dalam bentuk kata gramatikal dalam sebuah paradigma. Misalnya, WRITER dapat berwujud kata gramatis writer dan writers. Dalam paradigma tersebut, leksem WRITER tetap merupakan satuan terkecil.
Edi Subroto menyetujui gagasan dan pendapat Marchand bahwa “pembentukan kata adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji pola‑pola dimana sebuah bahasa membentuk satuan‑satuan leksikal baru, yaitu kata. Dengan demikian yang relevan bagi pembentu­kan kata adalah morfologi derivasional atau morfologi leksikal.
3. Konsep infleksi dan derivasi
Simatupang (1979:52) membagi dua proses morfemis yaitu
  1. Proses  morfemis yang derivasional
Proses morfemis yang mengakibatkan perubahan keanggotaan kategorial kata yang dikenainya dan (jenis ini dapat ditentukan dengan tes keanggotaan kategorial kata)
Contoh: Memutih (KK) diturunkan dari Kata Sifat (KS) putih
  1. Proses morfemis yang paradigmatik (infleksi)
Proses morfemis yang tidak mengakibatkan perubahan keanggotaan kategorial kata.
Contoh: Membelikan (KK) diturunkan dari membeli (KK) tidak mengubah kategori kata.
Jadi, fleksi adalah perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan, dan derivasi adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis yang lain (Verhar, 1996:121).
Nida dalam Subroto (1987) menguraikan tentang infleksi dan derivasi sebagai berikut:
  1. Pembentukan derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata tertentu) seperti: singer ‘penyanyi’ (nomina), dari verba (to) sing ‘menyanyi’, termasuk jenis kata yang sama dengan boy (nomina) ‘anak laki-laki’; sedangkan pembentukan infleksional tidak, misalnya: verba kolpleks atau polimorfemis walked tidak termasuk  beridentitas sama dengan verba monomorfemis yang mana pun juga dalam sistem morfologi bahasa Inggris.
  2. Secara statistik, afiks derivasional lebih beragam, misalnya dalam bahasa Inggris terdapat afiks-afiks pembentuk nomina: -er, -ment, -ion, -ation, -ness (singer, arrangement, correction, nationalization, stableness), sedangkan afiks infleksional dalam bahasa Inggris kurang beragam (-s (dengan segala variasinya), -ed1, -ed2, -ing: work, worked1, worked2, working).
  3. Afiks-afiks derivasional dapat mengubah kelas kata, sedangkan afiks infleksional tidak
  4. Afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang lebih terbatas (misalnya: afiks derivasional -er diramalkan tidak selalu terdapat pada dasar verba untuk membentuk nomina), sedangkan afiks infleksional mempunyai distribusi yang lebih luas.
  5. Pembentukan derivasional dapat menjadi dasar bagi pembentukan berikutnya: sing (V) →  singer (N) ) → singers (N), sedangkan pembentukan infleksional tidak.
Prinsip yang diikuti ialah setiap berpindah jenis kata (pembentukan yang menghasilkan jenis kata berbeda) selalu berarti pula berpindah identitas leksikalnya (menulis termasuk verba, penulis termasuk nomina), tetapi tidak sebaliknya setiap berpindah identitas leksikal berarti pula berpindah identitas jenis kata. Misalnya, berangkat (verba) dan memberangkatkan (verba). Keduanya termasuk verba, tetapi identitas leksikalnya berbeda sehingga termasuk derivasional. Kata berangkat termasuk tak-transitif, sedangkan memberangkatkan termasuk transitif. Identitas leksikal kedua verba itu berbeda karena referen atau situasi yang ditunjuknya berbeda. Dengan demikian  dapat dinyatakan bahwa sufiks –kan pada memberangkatkan adalah afiks yang mentransitifkan. Perihal afiks me (N)- pada memberangkatkan, yang dapat diramalkan dapat digantikan di-, ku-, kau- semata-mata penanda gramatikal, yaitu menyatakan bahwa kalimatnya berfokus pada pelaku (Subroto, 1987).
4. Afiks: Infleksi dan derivasi
Dalam morfologi derivasi dan morfologi infleksi, afiks-afiks digolongkan atas dua jenis yakni: (1) afiks derivasi dan (2) afiks infleksi.
Dengan tata kerja seperti itu kajian morfologi di dalam suatu bahasa, termasuk bahasa Indonesia, akan melibatkan kajian tentang afiks sebagai alat pembentuk kata (polimorfemis) atau lexical formatives (istilah Mathews). Dengan demikian, akan didapati dua jenis afiks, yaitu afiks‑afiks infleksional dan afiks‑afiks derivasional. Afiks infleksional adalah afiks yang mampu menghasilkan bentuk‑bentuk kata yang baru dari leksem dasarnya, sedangkan afiks derivasional adalah afiks yang meng­hasilkan leksem baru dari leksem dasar (Purnanto, 2009).
            Katamba  (1993:47)  secara lebih spesifik membagi dua kategori fungsi afiks yakni fungsi afiks morfemis infleksi dan fungsi afiks morfemis derivasi.
affixs morphemes can be divided into two major functional categories, namely derivational morphemes and inflectional morphemes. This reflects a recognition of two principal word building processes: inflection and derivation. While all morphologists accept this distinction in some form, it is nevertheless one of the most contentious issues in morphological theory.

Bauer (dalam Ermanto, 2008 dan Purnanto, 2010) mengemukakan dua tipe afiks seperti berikut ini.
Affixes can be of two kinds inflectional or derivational. An inflectional affix is
one which produces a new word-form of a lexeme from a base. An derivational affix is one which produces a new lexeme from a base. Take a word-form like re-creates. This can be analyzed into a prefix re-, a root create, and a suffix -s. The prefix makes a new lexeme RECREATE from the base create. But the suffix -s just provides another word-form of the lexeme RECREATE. The prefix re- is derivational, but the suffix -s is inflectional.

(Afiks dapat dibagi menjadi dua jenis afiks, yaitu afiks‑afiks infleksional dan afiks‑afiks derivasional. Afiks infleksional adalah afiks yang mampu menghasilkan bentuk‑bentuk kata yang baru dari leksem dasarnya, sedangkan afiks derivasional adalah afiks yang meng­hasilkan leksem baru dari leksem dasar. Misalnya kata recreates dapat dianalisis menjadi sebuah prefiks re‑ sebuah akar create, dan sebuah sufiks ‑s. Prefiks re‑ membentuk leksem baru RE­CREATE dari bentuk dasar create, sedangkan sufiks –s membentuk kata yang lain dari leksem RECREATE. Jadi prefiks re‑ bersifat derivasional, sedangkan sufiks ‑s bersifat infleksional)
Berdasarkan pendapat Katamba dan Bauer  dinyatakan bahwa afiks dibedakan atas afiks derivasi dan infleksi.
5. Fungsi Afiks: infleksi dan derivasi
Afiks derivasi digunakan pada proses afiksasi yang bersifat derivasi; afiks infleksi digunakan pada proses afiksasi yang bersifat infleksi. Proses afiksasi yang bersifat derivasi itu akan menghasilkan leksem (kata dalam pengertian kata leksikal) dari leksem yang menjadi D; proses afiksasi yang bersifat infleksi akan menghasilkan bentuk-kata (word-form) (kata dalam pengertian kata gramatikal) dari suatu leksem (D).
Bertolak dari fungsi fleksi dan fungsi derivasi pada afiks, afiks dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan fungsinya, yakni (1) afiks derivasi dan (2) afiks infleksi.
Bauer (dalam Ermanto) menjelaskan bahwa afiks derivasi adalah afiks yang memproduksi leksem baru (kata dalam pengertian leksem) dari suatu D; dan afiks infleksi adalah afiks yang berfungsi memproduksi bentuk-kata (kata gramatikal) dari suatu leksem. Sejumlah cara membedakan afiks derivasi dengan afiks infleksi menurut Bauer
(dalam Ermanto, 2008) adalah sebagai berikut:
(1) jika suatu afiks mengubah kelas kata, berarti afiks derivasi, dan jika tidak mengubah kelas kata, biasanya, afiks infleksi (tetapi dapat pula afiks derivasi);
(2) afiks derivasi mempunyai makna yang tidak tetap (tidak teratur), sedangkan
afiks infleksi selalu mempunyai makna yang tetap (teratur);
(3) suatu kaidah umum adalah afiks derivasi kurang produktif sedangkan afiks infleksi sangat produktif.
Istilah proses derivasi dan proses infleksi ini didasarkan pada istilah yang digunakan Matthews (dalam Ermanto, 2007).
Pada verba afiksasi yang memiliki beberapa afiks, afiks-afiks tersebut mengimbuh secara hierarkis. Jika pada verba afiksasi terdapat afiks derivasi dan afiks infleksi, maka pengimbuhan itu terjadi menurut kaidah tertentu (kaidah umum). Kaidah umum tersebut adalah proses derivasional akan terjadi lebih dahulu dan kemudian diikuti oleh proses infleksi.
Menurut Subroto (1987), setiap proses morfologis, sebuah afiks akan termasuk infleksional kalau di dalam suatu paradigma dapat diramalkan untuk menggantikan afiks infleksional lainnya. Dengan demikian, juga terdapat keteraturan makna gramatikal di dalam paradigma infleksional. Ciri‑ciri yang demikian tidak terdapat pada paradigma yang derivasional (1985: 6). Contohnya, paradigma dari dasar”PETIK” PARADIGMA I
‑PETIKIß---------‑  -PETIK-----------à-PETIKKAN
Memetiki                     memetik                     memetikkan  1
Dipetiki                       dipetik                         dipetikkan   2
Kupetiki                      kupetik                                    kupetikkan   3
Kaupetiki                    kaupetik                      kaupetikkan  4
Diapetiki                     diapetik                       diapetikkan  5
            Terpetik                       -
            PARADIGMA II
 ______________________________________________________
 Pemetik    pemetikan       petikan
______________________________________________________
Paradigma I termasuk paradigma kata kerja yang dibentuk dari dasar “petik”, sedangkan paradigma II adalah paradigma nomina dever­bal.
Paradigma kata kerja terbagi atas tiga kolom: kolom PETIK, kolom PETIKI, dan kolom PETIKAN. Masing‑masing kolom merupakan paradigma infleksional dan masing‑masing mempunyai bentuk kata baris 1 ‑ 6 (kecuali kolom ‑PETIKKAN 6 dan kolom ‑PETIKI, 6 yang masih tanda tanya). Untuk memudahkan pembicaraan paradigma kata kerja kolom ‑PETIK disebut A, kolom ‑PETIKI disebut B, dan kolom ‑PETIKKAN disebut C.
Terlihat pada masing‑masing kolom bahwa bentuk dengan Me(N)‑ (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat digantikan dengan di‑, ku‑, kau‑, dia‑. Oleh karena itu, masing‑masing kolom merupakan paradigma infleksional. Kolom A dari leksem ‑PETIK, kolom B dari leksem ‑PETIKI, kolom C dari leksem ‑PETIKKAN. Kemunculan masing‑masing bentuk dari setiap kolom dapat diramal­kan berdasarkan kaidah gramatis tertentu. Bentuk baris 1 terda­pat apabila kalimat berfokus agentif, sedangkan baris 2‑6 berfokus pasientif. Perbedaan antara baris 2‑6 menyatkan ‘keak­sidentalan’ (hal tidak disengaja); baris 2‑5 menyatakan ‘kesen­gajaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3‑5 karena menyatakan pelaku ‘nampak dalam bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan pelaku ‘tidak nampak dalam bentuk’; baris 3 pelaku adalah O1, baris 4 adalah O2, baris 5 adalah O3.
Selanjutnya perlu dibedakan leksem ‑PETIK, ‑PETIKI, dan ‑PETIKKAN. Leksem ‑PETIKI bermakna ‘pluralitas perbuatan’, ‑PETIKKAN (dalam oposisinya dengan ‑PETIK) mengandung ciri ‘kebenefaktifan’. Dengan begitu, kata memetik, memetiki, dan memetikkan secara leksikal adalah tiga kata yang berbeda (derivasional) sekalipun termasuk dalam kata kerja.
Kata pemetik, pemetikan, dan petikan (II) dikategorikan sebagai kata benda derivasional deverbal. Maksudnya, berdasar­kan pertimbangan semantik leksikal, ketiga kata itu diderivasikan dari kata kerja mememetik (pemetik‘orang yang meme­tik’, pemetikan‘hal memetik’, petikan ‘hasil memetik’).Berda­sarkan perbedaan referennya, ketiga kata itu berbeda secara leksikal sekalipun sama‑sama termasuk kata benda.
6. Proses morfologi Infleksi dan derivasi dalam Bahasa Indonesia
            Berdasarkan landasan teori diatas tentang proses infleksi dan derivasi dibawah ini akan diperikan proses morfologi infleksi dan derivasi dalam bahasa Indonesia yang mengacu pada contoh pemerian yang telah dilakukan oleh Edi Subroto dengan pertimbangan bahwa konsep infleksi dan derivasi Edi Subroto lebih aplikatif dan memadai untuk diterapkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu apa yang dirintis Edi Subroto sejalan dengan kajian morfologi mutakhir sebagaimana Katamba (1993) Stump (2001) Inflection, dan Beard (2001) Derivation dalam Handbook of Morphology bahwa kajian morfologi infleksi dan derivasi berdasarkan kaidah sintaktik yang dapat diramalkan kemunculannya serta mempunyai keteraturan gramatikal.
Dengan tidak mengabaikan penelitian infleksi dan derivasi yang telah dilakukan para pakar linguistik lainnya seperti yang dilakukan oleh (1) Ermanto dengan judul Hierarki Afiksasi Pada Verba Bahasa Indonesia (Bi) Dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi (2007), (2) Fungsi dan Makna Afiks Infleksi Pada Verba Afiksasi Bahasa Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Morfologi Derivasi Dan Infleksi (2008).
Hasil penelitian Ermanto (2008) menemukan lima pola hierarki afiksasi pada verba afiksasi BI sebagai berikut
Pertama, pola (I) adalah D + PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (V Transitif) hanya memiliki satu afiks infleksi meN- atau afiks infleksi di-.
Kedua, pola (II) adalah (D + PROSES DERIVASI) + PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (V Transitif) selain memiliki afiks infleksi meN- atau afiks infleksi di- juga memiliki afiks derivasi lain, seperti –kan, -i, per-/-kan, per-/-i, per-.
 Ketiga, pola (III) adalah ((D + PROSES DERIVASI) + PROSES DERIVASI) + PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (V Transitif) selain memiliki afiks infleksi meN- atau afiks infleksi di- juga memiliki afiks derivasi lain seperti afiks ber-, dan –kan.
Keempat, pola (IV) adalah D + PROSES DERIVASI. Hierarki afiksasi ini terdapat pada V KEADAAN, V PROSES, V AKSI (V INTRANSITIF) yang diturunkan dari DN, DA, DV KEADAAN, DV PROSES, DV AKSI dengan pengimbuhan afiks derivasi meN-, beR-, teR-, ke-/-an, beR-/-an, beR-/-kan.
 Kelima, pola (V) adalah D + PROSES INFLEKSI (afiks infleksi ber-). Pola hierarki afiksasi ini terdapat pada V AKSI atau V KEADAAN yang berfitur semantis aksi mental dengan pengimbuhan afiks infleksi beR-.
Dengan contoh analisis yang dilakukan Ermanto sebagai berikut:
Hierarki afiksasi pada V AKSI PROSES (V Transitif) dengan POLA (I): D + PROSES INFLEKSI (1) dapat dijelaskan berikut ini.
POLA (I): D + PROSES INFLEKSI.








Dasar
LEKSEM V
 


Proses Infleksi 1
KATA GRAMATIKAL
 



 



GUNCANG                                        mengguncang, diguncang
PARKIR                                              memarkir, diparkir
PROTES                                             memprotes, diprotes
USUNG                                              mengusung, diusung
TUNGGU                                           menunggu, ditunggu
BUAT             membuat, dibuat

Hierarki afiksasi pada verba di atas adalah pengimbuhan afiks infleksi meN- dan di- pada leksem V dengan proses infleksi. Pengimbuhan afiks infleksi (Proses Infleksi 1) membentuk kata gramatikal berkategori AKTIF dan PASIF dari leksem V. Kata gramatikal berafiks meN- adalah V AKTIF, dan kata gramatikal berafiks di- adalah V PASIF. Pada DV AKSI PROSES yang berbentuk simpel (monomorfem) secara otomatis akan mengalami proses infleksi dengan afiks infleksi meN- dan di-.
Dibawah ini akan diperikan contoh proses infleksi dan derivasi dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
6.1 Proses infleksi dan derivasi verba transitif


Paradigma dari leksem Verba Transitif “PILIH”

B
A
C




I
–PILIHI
–PILIH
-PILIHKAN

1
2
3
4
5
6
memilihi
dipilihi
kupilihi
kaupilihi
diapilihi
terpilihi
memilih
diapilih
kupilih
kaupilih
diapilih
terpilih
memilihkan
diapilihkan
kupilihkan
kaupilihkan
diapilihkan
-

II
pemilih
pemilihan
pilihan
7
8

9
Paradigma (morfologis) I termasuk paradigma verba yang dibentuk dari dasar PILIH, sedangkan paradigma II adalah paradigma nomina deverbal.
Paradigma verba terbagi atas tiga kolom, yaitu: kolom PILIH, kolom PILIHI, dan kolom PILIHKAN. Masing-masing kolom merupakan paradigma infleksional dan masing masing mempunyai bentuk kata baris 1-6 (kecuali kolom PILIHKAN 6). Untuk memudahkan pembicaraan paradigma verba kolom PILIH disebut A, kolom PILIHI disebut B, dan kolom PILIHKAN disebut C.
Pada masing-masing kolom (A, B, dan C) dapat dikatakan bahwa bentuk dengan me(N)- (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat digantikan dengan di, ku, kau, dia. Oleh karena itu, masing-masing kolom merupakan paradigma infleksional. Kolom A dari leksem PILIH, kolom B dari leksem PILIHI, kolom C dari leksem PILIHKAN. Pembentukan kata dari masing-masing bentuk pada setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan kaidah gramatis tertentu. Bentuk baris 1 terdapat apabila kalimat berfokus agentif yang ditandai oleh prefiks me(N)-, sedangkan baris 2-6 berfokus pasientif. Perbedaan antara baris 2-6 menyatakan ‘keaksidentalan’ (ketidaksengajaan); baris 2-5 menyatakan ‘kesengajaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3-5 karena menyatakan agen (pelaku) tampak dalam bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan agen (pelaku) ‘tidak tampak dalam bentuk’; baris 3 agen adalah pronomina orang pertama (O1), baris 4 adalah pronima orang kedua (O2), dan baris 5 adalah pronomina orang ketiga (O3).
Selanjutnya perlu dibedakan antara leksem PILIH, PILIHII, dan PILIHKAN. Leksem PILIHI bermakna ‘direktif’, PILIHKAN (dalam oposisinya dengan PILIH) mengandung ciri ‘kebenefaktifan’. Leksem –PILIH termasuk leksem tunggal, sedangkan leksem –PILIHI dan – PILIHKAN termasuk leksem kompleks. Dengan demikian, kata memilih, memilihi, dan memilihkan secara leksikal adalah tiga kata yang berbeda identitas leksikalnya (pembentukan kata secara derivasional) walaupun termasuk dalam verba karena memiliki ciri semantik yang berbeda.
Kata pemilih, pemilihan, dan pilihan pada paradigma (II) dapat dikategorikan sebagai nomina deverbal yang mengalami pembentukan kata secara derivasional. Maksudnya, berdasarkan pertimbangan semantik leksikal, ketiga kata itu diderivasikan dari verba memilih (pemilih’orang yang memilih’, pemilihan ‘ihwal memilih atau proses memilih’, pilihan ‘hasil memilih’). Berdasarkan perbedaan referennya, ketiga kata itu berbeda secara leksikal sekalipun sama-sama termasuk nomina, karena memiliki ciri semantik yang berbeda.
Bila ditinjau dari kelas katanya verba pilih  termasuk verba transitif yang mengandung makna perbuatan dan proses (verba aksi-proses), misalnya (Kakak) memilih (calon istri). (Kakak) berfungsi sebagai Subjek (S) dan berperan sebagai Agen (Ag), sedangkan (calon istri) berfungsi sebagai Objek (O) dan berperan Pasientif (Ps).
Prosede dengan me(N)- termasuk produktif karena sebagian pembentukan kata dengan dasar verba transitif (D-Vtr) yang lain (satu kelas) dapat dibentuk dengan me(N)-D yang transitif.Untuk itu, V tr pilih dapat dibentuk lebih lanjut dengan sufiks –i menjadi memilihi dan sufiks –kan menjadi memilihkan.
Apabila ditinjau adanya proporsionalitas ketiga verba tersebut, terdapat proporsionalitas yang kontinyu, yaitu antara verba bentuk me(N)-D dengan bentuk me(N)-D-i dan verba bentuk me(N)-D-kan. Oleh karena itu, terdapat oposisi secara langsung antara Verba bentuk me(N)-D X me(N)-D-i dan antara Verba bentuk me(N)-D X me(N)-D-kan, yaitu antara memilih X memilihi dan memilih X memilihkan. Akan tetapi, pembentukannya tidak serta merta dibentuk dengan konfiks me(N)-i dan me(N)-kan, tetapi melalui tahapan prefiks me(N)- dahulu baru kemudian dilekati sufiks –i atau - kan (karena terjadi secara bertahap maka tidak disebut sebagai konfiks).
Untuk lebih jelasnya dapat dicontohkan kalimat (Kakak) memilihi (koran) dan (kakak) memilihkan (koran) (untuk)( adiknya) atau (kakak) memilihkan (adiknya)             ( koran). Kata memilihi termasuk verba aksi-proses yang mengandung makna ‘frekuentatif (berkali-kali) atau intensitas frekuentatif’ yang ditandai oleh sufiks –i. Oleh karena itu, (kakak) berfungsi sebagai S dan berperan sebagai Ag, dan (koran) berfungsi sebagai O dan berperan Ps. Kalimat tersebut juga bisa dipasifkan dengan (koran)  dpilihi (kakak). Verba bentuk memilihkan termasuk verba aksi–proses yang mengandung makna benefaktif, sehingga kata (adiknya) pada (kakak) memilihkan (adiknya) (koran) berfungsi sebagai O dan berperan sebagai penerima (benefaktif).
Verba bentuk me(N)-D-I tidak bisa dioposisikan secara langsung dengan verba bentuk me(N)-D-kan. Oposisinya hanya bisa dijelaskan melalui verba ventuk me(N)-D. Sehingga dapat ditemukan oposisi me(N)-D-i X me(N)-D X me(N)-D-kan, yaitu memilihi X memilih X memilihkan.

Paradigma dari leksem Verba Transitif “AMBIL”

B
A
C




I
–AMBILI
–AMBIL
AMBILKAN

1
2
3
4
5
6
mengambili
diambili
kuambili
kauambil
diambili
terambili (?)
mengambil
diambil
kuambil
kauambil
diaambil
terambil
mengambilkan
diambilkan
kuambilkan
kauambilkan
diaambilkan
-

II
pengambil
pengambilan
ambilan
7
8

9
Paradigma (morfologis) I termasuk paradigma verba yang dibentuk dari dasar AMBIL, sedangkan paradigma II adalah paradigma nomina deverbal.
Paradigma verba terbagi atas tiga kolom, yaitu: kolom AMBIL, kolom AMBILI, dan kolom AMBILKAN. Masing-masing kolom merupakan paradigma infleksional dan masing masing mempunyai bentuk kata baris 1-6 (kecuali kolom AMBILKAN 6 dan kolom –AMBILI (6 yang dipertanyakan). Untuk memudahkan pembicaraan paradigma verba kolom AMBIL disebut A, kolom AMBILI disebut B, dan kolom AMBILKAN disebut C.
Pada masing-masing kolom (A, B, dan C) dapat dikatakan bahwa bentuk dengan me(N)- (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat digantikan dengan di, ku, kau, dia. Oleh karena itu, masing-masing kolom merupakan paradigma infleksional. Kolom A dari leksem AMBIL, kolom B dari leksem AMBILI, kolom C dari leksem AMBILKAN. Pembentukan kata dari masing-masing bentuk pada setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan kaidah gramatis tertentu. Bentuk baris 1 terdapat apabila kalimat berfokus agentif yang ditandai oleh prefiks me(N)-, sedangkan baris 2-6 berfokus pasientif. Perbedaan antara baris 2-6 menyatakan ‘keaksidentalan’ (ketidaksengajaan); baris 2-5 menyatakan ‘kesengajaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3-5 karena menyatakan agen (pelaku) tampak dalam bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan agen (pelaku) ‘tidak tampak dalam bentuk’; baris 3 agen adalah pronomina orang pertama (O1), baris 4 adalah pronima orang kedua (O2), dan baris 5 adalah pronomina orang ketiga (O3).
Selanjutnya perlu dibedakan antara leksem AMBIL, AMBILI, dan AMBILKAN. Leksem AMBILI bermakna ‘pluralitas perbuatan’, AMBILKAN (dalam oposisinya dengan AMBIL) mengandung ciri ‘kebenefaktifan’. Leksem –AMBIL termasuk leksem tunggal, sedangkan leksem –AMBILI dan – AMBILKAN termasuk leksem kompleks. Dengan demikian, kata mengambil, mengambili, dan mengambilkan secara leksikal adalah tiga kata yang berbeda identitas leksikalnya (pembentukan kata secara derivasional) walaupun termasuk dalam verba karena memiliki ciri semantik yang berbeda.
Kata pengambil, pengambilan, dan ambilan pada paradigma (II) dapat dikategorikan sebagai nomina deverbal yang mengalami pembentukan kata secara derivasional. Maksudnya, berdasarkan pertimbangan semantik leksikal, ketiga kata itu diderivasikan dari verba mengambil (pengambil’orang yang mengambil’, pengambilan ‘hal mengambil’, ambilan ‘hasil mengambil’). Berdasarkan perbedaan referennya, ketiga kata itu berbeda secara leksikal sekalipun sama-sama termasuk nomina, karena memiliki ciri semantik yang berbeda.
Bila ditinjau dari kelas katanya verba ambil termasuk verba transitif yang mengandung makna perbuatan dan proses (verba aksi-proses), misalnya (Kakak) mengambil (kamus). (Kakak) berfungsi sebagai Subjek (S) dan berperan sebagai Agen (Ag), sedangkan (kamus) berfungsi sebagai Objek (O) dan berperan Pasientif (Ps).
Prosede dengan me(N)- termasuk produktif karena sebagian pembentukan kata dengan dasar verba transitif (D-Vtr) yang lain (satu kelas) dapat dibentuk dengan me(N)-D yang transitif.Untuk itu, V tr ambil dapat dibentuk lebih lanjut dengan sufiks –i menjadi mengambili dan sufiks –kan menjadi mengambilkan.
Apabila ditinjau adanya proporsionalitas ketiga verba tersebut, terdapat proporsionalitas yang kontinyu, yaitu antara verba bentuk me(N)-D dengan bentuk me(N)-D-i dan verba bentuk me(N)-D-kan. Oleh karena itu, terdapat oposisi secara langsung antara Verba bentuk me(N)-D X me(N)-D-i dan antara Verba bentuk me(N)-D X me(N)-D-kan, yaitu antara mengambil X mengambili dan mengambil X mengambilkan. Akan tetapi, pembentukannya tidak serta merta dibentuk dengan konfiks me(N)-i dan me(N)-kan, tetapi melalui tahapan prefiks me(N)- dahulu baru kemudian dilekati sufiks –i atau - kan (karena terjadi secara bertahap maka tidak disebut sebagai konfiks).
Untuk lebih jelasnya dapat dicontohkan kalimat (Kakak) mengambili (koin emas) dan (kakak) mengambilkan (koin emas) (untuk)( Ibunya) atau (kakak) mengambilkan (ibunya)( koin emas). Kata mengambili termasuk verba aksi-proses yang mengandung makna ‘frekuentatif (berkali-kali)’ yang ditandai oleh sufiks –i. Oleh karena itu, (kakak) berfungsi sebagai S dan berperan sebagai Ag, dan (koin emas) berfungsi sebagai O dan berperan Ps. Kalimat tersebut juga bisa dipasifkan dengan (koin emas)  diambili (kakak). Verba bentuk mengambilkan termasuk verba aksi–proses yang mengandung makna benefaktif, sehingga kata (ibunya) pada (kakak) mengambilkan (ibunya) (koin emas) berfungsi sebagai O dan berperan sebagai penerima (benefaktif).
Verba bentuk me(N)-D-I tidak bisa dioposisikan secara langsung dengan verba bentuk me(N)-D-kan. Oposisinya hanya bisa dijelaskan melalui verba ventuk me(N)-D. Sehingga dapat ditemukan oposisi me(N)-D-i X me(N)-D X me(N)-D-kan, yaitu mengambili X mengambil X mengambilkan.

6.2 Proses infleksi dan derivasi verba intransitif
Paradigma dari leksem DUDUK berikut ini.

A
B
C



I
DUDUKI
DUDUK
DUDUKKAN

1
2
3
4
5
6
menduduki
diduduki
kududuki
kaududuki
diaduduki
terduduki?
-
-
-
-
-
terduduk
mendudukkan
didudukkan
kududukkan
kaududukkan
diadudukkan
terdudukkan?
II
pendudukan
penduduk


7
8
Paradigma pembentukan kata pada I termasuk verba yang dibentuk dari leksem –DUDUK, sedangkan paradigma II merupakan pembentukan kata secara derivasional dari dasar verba yang menghasilkan bentuk nomina deverba.
Paradigma verba terbagi atas tiga kolom, yaitu: kolom DUDUK, kolom DUDUKI, dan kolom DUDUKAN. Kolom B tidak ada pembentukan kata dengan leksem DUDUK karena termasuk verba intransitif. Sedangkan kolom A dan kolom C merupakan paradigma infleksional dan masing masing mempunyai bentuk kata baris 1-6 (kecuali kolom DUDUKKAN 6 dan kolom –DUDUKI ( 6 yang masih dipertanyakan). Untuk memudahkan pembicaraan paradigma verba kolom DUDUK disebut A, kolom DUDUKI disebut B, dan kolom DUDUKKAN disebut C.
Pada kolom A dan C dapat dikatakan bahwa bentuk dengan me(N) (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat digantikan dengan di , ku , kau , dia . Oleh karena itu, kedua kolom tersebut merupakan paradigma infleksional. Kolom A dari leksem DUDUK, dan kolom C dari leksem DUDUKKAN. Pembentukan kata dari masing-masing bentuk pada setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan kaidah gramatis tertentu. Bentuk baris 1 terdapat apabila kalimat berfokus agentif yang ditandai oleh prefiks me(N)- , sedangkan baris 2-6 berfokus pasientif. Perbedaan antara baris 2-6 menyatakan ‘keaksidentalan’ (hal tidak disengaja); baris 2-5 menyatakan ‘kesengajaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3-5 karena menyatakan agen (pelaku) ‘tampak dalam bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan agen (pelaku) ‘tidak tampak dalam bentuk’; baris 3 agen adalah pronomina orang pertama (O1), baris 4 adalah pronima orang kedua (O2), dan baris 5 adalah pronomina orang ketiga (O3).
Tahap selanjutnya perlu dibedakan antara leksem DUDUK, DUDUKI, dan DUDUKKAN. Leksem DUDUKI bermakna ‘pluralitas perbuatan’, DUDUKKAN (dalam oposisinya dengan DUDUK) mengandung ciri ‘kebenefaktifan’. Leksem –DUDUK termasuk leksem tunggal, sedangkan leksem –DUDUKI dan –DUDUKKAN termasuk leksem kompleks. Dengan demikian, kata menduduki dan mendudukkan secara leksikal adalah kata yang berbeda identitas leksikalnya (pembentukan kata secara derivasional) walaupun termasuk dalam kelas verba karena memiliki ciri semantis yang berbeda.
Kata penduduk dan pendudukan pada paradigma (II) dapat dikategorikan sebagai pembentukan secara derivasional yang beridentitas nomina deverbal. Maksudnya, berdasarkan pertimbangan semantik leksikal, kedua kata itu diderivasikan dari verba menduduki (penduduk ‘orang yang meduduki satu wilayah tertentu)’, pendudukan ‘hal menduduki atau menjajah wilayah tertentu’. Berdasarkan perbedaan referennya, ketiga kata itu berbeda secara leksikal sekalipun sama-sama termasuk nomina.
Kalau dikaitkan dengan terdapat tidaknya proporsionalitas yang kontinu (saling keterkaitan antara kata-kata yang termasuk kategori yang berbeda, tetapi dari dasar yang sama) di dalam pembentukan kata itu tidak menunjukkan keterkaitan antara ketiganya. Hal itu dapat diperikan seperti berikut.
Verba duduk termasuk verba intransitif. Secara leksikal akan dikelompokkan ke dalam kata tunggal yang menghendaki adanya komplemen, misalnya duduk di teras. Oleh sebab itu, verba duduk tidak dapat dibentuk dengan prosede me(N)-D menjadi –*menduduk termasuk infleksinya *diduduk, *kududuk, *kaududuk, *diaduduk (terduduk untuk bentukan kata jatuh terduduk ‘jatuh dalam posisi duduk’).
Dari dasar intransitif verba duduk (yang secara leksikal dapat diikuti preposisi di-) jika ingin dibentuk menjadi verba transitif harus ditambah dengan sufiks –kan atau sufiks –i, sehingga diperoleh kata menduduki (bermakna ‘lokatif’ misalnya (AS) menduduki (Afghanistan selama tiga setengah tahun) dan mendudukkan (bermakna kausatif, misalnya (Adik) mendudukan (nenek) (di kursi roda). Selain itu, apabila ditinjau dari klasifikasi verba menurut Chafe (1971), verba menduduki dan mendudukkan termasuk verba aksi – proses.
Verba menduduki dan mendudukkan dibentuk secara langsung dari verba duduk, tanpa melalui proses dari bentuk me(N)-D. Untuk itu, bisa dinyatakan bahwa tidak ada proporsionalitas yang kontinyu antara verba bentuk me-(N)-D dan verba bentuk me(N)- D-I dan me(N)-D-kan. Sebagai konsekuensinya, bentuk me-i dan me-kan dapat dikelompokkan atau diistilahkan konfiks.













7. Simpulan

Dari pemerian morfologi Infleksi dan derivasi dalam bahasa Indonesia dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
  1. Titik tolak kajian infleksi dan derivasi adalah kata sebagai pengertian leksem karena kata mengandung kekaburan konsep. Leksem sebagai bahan mentah proses input yang menghasilkan kata gramatikal (output).
  2. Derivasi menghasilkan leksem baru dan infleksi menghasilkan bentuk kata (kata gramatikal) dari leksem.
  3. Afiks derivasi adalah afiks yang memproduksi leksem baru (kata dalam pengertian leksem) dari suatu D; dan afiks infleksi adalah afiks yang berfungsi memproduksi bentuk-kata (kata gramatikal) dari suatu leksem.
  4. Proses derivasional akan terjadi lebih dahulu dan kemudian diikuti oleh proses infleksi.
  5. Pembentukan derivasional dapat dijadikan dasar bagi pembentukan berikutnya, sedangkan pembentukan infleksional tidak bisa.
  6. Pembentukan infleksional dapat memenuhi kaidah gramatikal yang bersifat dapat diramalkan dalam kaidah sintaktik tertentu, sedangkan pembentukan derivasional bersifat tak teramalkan sekalipun diakui adanya beberapa gejala yang sistematis.
  7. Terdapat keteraturan makna gramatikal di dalam paradigma infleksional, sedangkan paradigma derivasional tidak terdapat keteraturan makna gramatikal











Sumber Rujukan
Azhar, Iqbal Nurul.2009. Kajian Morfologi Infleksi Dan Derivasi Dalam Perspektif Edi Subroto. Makalah tidak diterbitkan.
Beard, Robert. 2001. “Derivation” dalam Andrew Spencer and Anold M. Zwicky (eds) The Handbook of Morfology. Malden: Blackwell Publishers

Ermanto, 2007. Hierarki Afiksasi Pada Verba Bahasa Indonesia (Bi) Dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi dalam  Linguistika Maret 2007

Ermanto, 2008. Fungsi dan Makna Afiks Infleksi Pada Verba Afiksasi Bahasa Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Morfologi Derivasi Dan Infleksi dalam jurnal Bahasa dan Seni FBSS UNP.

Katamba, Francis.1993.Morphology.England:The Macmillan Press LTD.

Purnanto, Dwi. 2009. Peranan Leksem dan Kata Dalam Studi Morfologi dalam http://dwipur_sastra.staff.uns.ac.id/2009/06/03/  diakses pada 21 oktober 2010.

Stump, Gregory. 2001. “Inflection” dalam Andrew Spencer and Anold M. Zwicky (Eds) The Handbook of Morfology. Malden: Blackwell Publishers
Subroto, Edi. 1996. “Konsep Leksem dan Upaya Pengorganisasian Kembali Lema dan Sublema Kamus Besar Bahasa Indonesia’ dalam (Ed) Dardjowidjojo Bahasa Nasional Kita. Bandung: ITB.
Subroto, Edi. 1987.Infleksi dan Derivasi: kemungkinan penerapanya dalam morfologi Bahasa Indonesia dalam jurnal MLI Desember 1987 tahun 5 No. 10.

Simatupang, M.D.S.1979.Reduplikasi Morfemis Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan

Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar